Volume sampah yang kian bertambah selalu menjadi masalah di banyak tempat. Tidak terkecuali Jakarta sebagai ibu kota negara dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia.
Berdasarkan data World Economic Forum 2018, Jakarta memproduksi sekitar delapan juta ton sampah setiap harinya. Dari jumlah tersebut hanya sekitar enam juta ton saja yang berhasil tertangani, sedangkan dua juta ton lainnya tidak tertangani. Hal ini tentu mengkhawatirkan mengingat setiap tahunnya volume sampah di Jakarta kian meningkat.
Sudah banyak upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan sampah. Contohnya mulai dari mengurangi penggunaan materi yang berpotensi menjadi sampah, memanfaatkan kembali barang-barang tertentu agar tidak dibuang begitu saja, daur ulang, hingga usaha menyulap sampah menjadi sumber energi.
Berbagai metode penanganan sampah. Sumber: Global Waste Management Outlook, UNEP
Walaupun begitu, sebagian besar sampah masih bernasib di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Contohnya, sampah di wilayah Jakarta dikirim ke TPA Bantar Gebang, Bekasi.
Masalahnya, volume sampah yang sangat besar dan terus bertambah tidak seimbang dengan kapasitas TPA ini. Diprediksikan dalam beberapa tahun ke depan TPA Bantar Gebang tidak dapat lagi menampung sampah dari Jakarta. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu terobosan untuk mengatasi keadaan ini.
Antrian truk yang menunggu untuk membuang muatan sampah di TPA Bantar Gebang. Sumber: http://www.mediaindonesia.com
Salah satunya, potensi mikroba yang terdapat pada TPA perlu dimanfaatkan. Mikroba adalah makhluk hidup berukuran sangat kecil yang dapat berupa bakteri, jamur, ataupun protozoa. Kayanya materi organik yang dapat “dimakan” oleh makhluk ini membuat TPA menjadi tempat berkembangnya berbagai macam berbagai mikroba. Dengan kata lain, mikroba sangat berperan dalam menghancurkan sampah.
Untuk mengetahui mikroba apa saja yang ada pada lingkungan TPA, dapat dilakukan dua metode.
Yang pertama, dengan menumbuhkan mikroba tersebut pada media buatan. Akan tetapi, sulit sekali untuk membuat kondisi laboratorium yang mirip dengan lingkungan aslinya. Karena itu, mikroba yang tumbuh mungkin hanya menggambarkan sebagian kecil dari komposisi mikroba yang sebenarnya ada di lingkungan TPA.
Cara yang kedua adalah dengan memetakan keragaman bakteri berdasarkan DNA mikroba apa saja yang ada di TPA. Metode ini dikenal dengan istilah metagenomik.
Melalui metagenomik, berbagai informasi mengenai identitas mikroba dan potensi perannya dalam menghancurkan sampah dapat diperoleh. Informasi ini dapat digunakan untuk mendesain strategi dalam mempercepat dekomposisi sampah.
Mikroba ada di mana saja, termasuk di TPA. Sumber: http://www.ensoplastics.com
Di beberapa negara, teknik ini sudah dilakukan untuk menguak ragam bakteri pada TPA. Hasilnya, ada tiga kelompok bakteri dominan pada TPA, yaitu Firmicutes, Proteobacteria, dan Bacteroidetes. Ketiga kelompok ini berperan dalam proses penghancuran bahan organik. Dengan menambah jumlah kelompok bakteri ini di TPA, mungkin saja sampah menjadi lebih cepat terurai.
Bahkan, ada temuan baru tentang penggunaan mikroba sebagai usaha mengatasi sampah plastik. Plastik adalah materi yang sangat sulit diurai, namun ternyata ada mikroba yang mampu memecah polimer plastik menjadi komponen yang lebih sederhana. Dengan begitu, bukanlah tidak mungkin permasalahan sampah, khususnya sampah plastik, dapat diatasi dengan mikroba.
Seiring berjalannya waktu, tentu dengan penelitian yang komprehensif, potensi mikroba dalam upaya penanganan sampah diharapkan semakin baik. Hal ini dilakukan untuk menuntaskan permasalahan sampah yang semakin menumpuk, khususnya di Jakarta.
Sementara itu, ingin langsung berkontribusi dalam memerangi sampah? Yuk, mulai dari diri sendiri. Contohnya, belanja secukupnya sehingga tidak banyak menyia-nyiakan makanan. Selain itu, bawa botol minum dan kotak makan sendiri saat jajan untuk menghindari penggunaan plastik sekali pakai. Cara sederhana seperti ini juga dapat membantu mengurangi penumpukan sampah!
Artikel ini ditulis oleh Evina Nelly Natalia Sihite mahasiswi Master Bioteknologi, Fakultas Teknobiologi. Evina adalah penggiat lingkungan yang sehari-hari berprofesi sebagai guru kimia di sebuah SMA swasta di Jakarta.
Editor: Watumesa Tan